Selasa, 06 Januari 2009

BHP; Pendidikan Dalam Karung

Penulis: Agus Sakti
Mahasiswa Fakultas Psikologi UIN Malang dan Anggota Institute of Studies, Research, and Development for Student (LKP2M) UIN Malang

Bagi siswa SMA yang sudah kelas tiga, rasanya sudah dapat bernafas lega. Pasalnya Ujian Nasional (UN) merupakan tahap akhir yang harus dirampungkan sudah terlaksana, tinggal menunggu pengumuman kelulusan pada pertengahan Juni mendatang. Namun, perasaan itu akan sedikit tergusar karena sebentar lagi mereka akan mengikuti ujian yang lebih dasyat lagi yaitu Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) yang notabene pesertanya adalah para alumni SMA yang lulus pada tahun ajaran 2004-2005 hingga tahun ajaran 2006-2007.

Dalam perhelatan akbar ini, tentunya ada sisi yang berbeda. Dengan persaingan yang rapat—diikuti oleh seluruh alumni SMA se-Indonesia ini membutuhkan kesiapan psikologis—mental yang lebih maksimal. Kondisi psikologis perlu dijaga, jika mental benar-benar kurang, maka bersiaplah untuk tereliminasi.

Begitu juga dalam menentukan pilihan. Ihwal ini amat signifikan demi kelangsungan masa depan. Calon MaBa (Mahasiswa Baru) tidak asal coret saja dalam proses pengisian formulir pendaftaran. Semua keputusan mempunyai konsekuensi logis yang terus mennyertai.

Jika yang dipilih adalah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang berkualitas dan bonafit, maka jangan heran jika nantinya akan merogoh kocek dalam-dalam. Hal ini tidak akan menjadi masalah bagi kaum borjuis yang berdompet tebal. Begitu sebaliknya, kaum proletan yang berfinansial miring akan terus tergiring kesamping hingga tak tersisihkan sama sekali.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana dengan anggran APBN yang sudah dicanangkan sebesar 20% oleh pemerintah? Kenapa biaya pendidikan masih membumbung tinggi tak terjangkau? Padahal anggaran ini sudah naik sebesar empat kali lipat dari anggaran pendidikan dari tahun sebelumnya.

Komersilisasi Pendidikan

Sangatlah wajar jika pendidikan kerap menjadi bahan perbincangan di ruang publik, mulai dari kekerasan dalam lembaga pendidikan kedinasan, Undang-Undang Sisdiknas, pergantian kurikulum dan kompetensi tenaga kependidikan, pelaksanaan ujian nasional (UN) yang kontroversi, hingga mahalnya biaya pendidikan sebagai akibat adanya otonomi kampus. Wacana berbau pendidikan tetap menarik untuk disimak (Jawa Pos, Kamis, 26 Apr 2007).

Menyoal masalah komersialisasi pendidikan tidak bisa lepas dari campur tangan Bank Dunia. Berawal dari desakan Bank Dunia untuk segera mengotonomisasi Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Ihwal ini terlahir pada tahun 1999 ketika terjadi pertemuan konsultatif antara pihak Bank Dunia dan rektor PTN. Dengan dana yang dijanjikan Bank Dunia, masing-masing PTN kemudian mengajukan proposal.

Siasat ini pun berhasil memancing beberapa PTN untuk tergabung dalam lingkaran BHMN. Hingga kini beberapa PTN yang sudah include di dalamnya adalah Universitas Indonesia/UI (Jakarta), Institut Teknologi Bandung/ITB (Bandung), Universitas Gajah Mada/UGM (Yogyakarta), Institut Pertanian Bogor/IPB (Bogor). Badan Hukum Pendidikan (BHP) merupakan bayi yang lahir dari rahim BHMN.

Intinya sama, Rancangan Undang Undang yang dianut BHP adalah melepaskan PTN dari intervensi pemerintah. Ujung-ujungnya, tidak ada perbedaan antara Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Negeri Swasta. Semua sama dalam mengemban prinsip privatisasi yang tidak lain adalah imbas dari liberalisasi pendidikan.

Bentuk privatisasi pendidikan sebagai hasil dari adonan liberalisasi dan komersialisasi kian hari semakin menampakkan wujudnya. Merujuk pada pasal 19 Undang Undang Sisdiknas “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”, dan pasal 12 ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pedidikan.

Jika menengok pada Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa “Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba dan otonom”.

Ironis, beberapa pola yang terkandung dalam RUU BHP justru memberi ruang sempit bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengakses pendidikan hingga tingkat Perguruan Tinggi. Predikat privatisasi yang terus mengekor pada sektor pendidikan
sarat dengan pendekatan modal. Pendidikan sebagai salah satu pranata sosial kemasyarakatan yang dekat dengan publik tidaklah pantas demikian.

Dampak yang ditimbulkan

Sejatinya, pendidikan adalah hak bagi seluruh warga Negara. Oleh karena itu, seharusnya pemerintahlah yang paling banyak bertanggung jawab akan hal ini secara holistik. Bagaimanapun juga, negara akan dianggap mempunyai arti dan berperadaban maju jika kondisi pendidikan yang sedang dijalankannya tidak menimbulkan banyak masalah negatif.

Langkah pemerintah yang telah memasukkan Rancangan Undang Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) dan menjadi prioritas nasional kiranya kurang bersahabat dengan rakyat. Langkah ini dapat melahirkan privatisasi pendidikan. Konsekuensinya, pemerintah tidak banyak melakukan intervensi. Sekilas terlihat sangat bijak, namun jika ditilik lebih lanjut hal ini akan berdampak pada jumlah subsidi yang di berikan oleh pemerintah, akhirnya biaya pendidikan semakin mahal.

Hal tersebut merupakan dampak jangka pendek yang dapat dirasakan, namun dampak langsung dalam waktu jangka panjang adalah terjadi insolidaritas sosial. Dapat dibayangkan jika biaya pendidikan mahal dan berhasil meluluskan seorang sarjana maka kemungkinan yang terjadi adalah sarjana tersebut akan berupaya penuh untuk mengembalikan modal biaya yang telah dibayarkan sebelumnya. Jika ia menjadi seorang dokter, maka bisa saja dia membuat tarif yang lebih tinggi dari harga normal.

Contoh tersebut di atas sudah menjadi common sense di zamrud negeri katulistiwa ini. Dengan demikian, sebagaimana prinsip nirlaba, pendidikan akan menerima dana yang mengucur deras dari orang-orang kapitalis yang sarat dengan kepentingan pribadi yang mempunyai kecenderungan untuk mencari kuntungan. Inikah konsep yang akan dipilih oleh masyarakat Indonesia?

1 komentar:

  1. ANDA PEMBACA SETIA HARIAN KOMPAS………………!

    KINI, DI AWAL TAHUN 2009 HARIAN KOMPAS KEMBALI MELUNCURKAN PROGRAM KHUSUS BAGI MAHASISWA-GURU, DENGAN HARGA LANGGANAN CUMA :

    RP. 50.000/ BULAN
    (FOTOCOPY KARTU MAHASISWA/SK MENGAJAR BAGI GURU)


    BERMINAT,
    HUBUNGI TRANSFORMASI AGENCY
    E-Mail : pireman_03@yahoo.com. Http://Labacokuttu.blogspot.com
    Hp : (085299484577)

    BalasHapus